Seberapa sering sobat
berbelanja di minimarket sejenis alfamidi,
alfamart, indomart, dsb? Pernah ngga sewaktu sobat beli barang terus kembaliannya
berupa permen? Sekali dua kali ngga masalah lah, tapi kalau keseringan risih ngga
sih? Atau mungkin sobat pernah punya pengalaman tidak menyenangkan soal
kembalian permen? Kemarin lusa, saya berkunjung ke salah satu gerai minimarket
tersebut dan saya kaget melihat tulisan pada foto di atas. Mungkinkah karena
mereka terlalu sering diomelin orang
lantas cari “aman” dengan memasang tulisan itu? Sekarang pertanyaannya,
sumbangan untuk bangun jembatan di pelosok desa itu desa yang nama? Alamatnya di
mana? Bagaimana cara pihak manajemen membedakan mana uang donasi dengan mana
uang keuntungan? Jangan-jangan hanya modus belaka, keuntungan plus donasi malah
masuk kantong. Siapa tahu?
Kehadiran minimarket
seperti alfamidi, alfamart, indomart, dsb di tengah masyarakat baik itu perkotaan maupun
pedesaan telah banyak membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga,
entah itu mie instan, gula, telur, susu, rokok, dst. Lokasi yang strategis, harga
bersaing dengan toko-toko lain, belum lagi pembeli disuguhi ruangan nyaman dan
sejuk menjadikan nilai tambah di hati masyarakat. Bahkan tak jarang mereka tetap
setia memberikan pelayanan 24 jam non stop tujuh hari dalam satu minggu.
Tidak hanya sobat saja
yang doyan berkunjung ke sana, saya juga sering. Dalam satu minggu mungkin ada
kali ya 5 sampai 6 kali. Berarti bisa dikatakan hampir tiap hari saya berbelanja
di sana.
Seiring waktu berjalan, kepuasan
saya terhadap kualitas pelayanan mereka tampaknya mulai menurun. Bagaimana tidak,
setiap saya membeli produk yang mereka jual, sering kali saya terima kembalian
dalam bentuk permen. “Maaf Pak, uang recehnya habis. Saya gantikan dengan
permen ya?” ucap kasir sambil menyodorkan beberapa macam rasa. Satu kali ngga
ada masalah, dua kali tidak jadi soal, tiga kali ya sudahlah, empat kali
itung-itung amal, begitu seterusnya. Kejadian itu tidak hanya terjadi di satu
gerai saja, bisa saya katakan hampir disetiap gerai juga seperti itu. Bahkan
saya sampai pernah dikasih satu buah kue wafer, seharusnya saya terima
kembalian sebesar kurang lebih 800 perak. Lama kelamaan risih juga ya? “Saya
ngga butuh permen,” gumam saya kesal di dalam hati.
Sampai pada akhirnya, kesabaran
saya habis hanya karena uang receh tak lebih dari delapan ratus perak! Ceritanya
waktu itu saya beli beberapa mie instan, satu bungkus rokok dan minuman
dingin mizone. Sampai di kasir, saya kurang empat ratus perak. “Yah.. Mba, uang
saya kurang empat ratus perak nih, gimana dong?” ujar saya sambil memelas. “Waduh..
Maaf Pak, kalau kurang bagaimana ya?” kata si kasir sembari garuk-garuk kepala
salah tingkah, ketombean kali ya?. “Jadi, saya ngga bisa beli nih? Cuma karena
empat ratus perak, pembelian saya di tolak? Terus kemaren-kemaren setiap saya
beli barang di sini di kasih permen, saya ngga ada masalah tuh! Saya terima
aja, padahal permen itu langsung saya buang ke tong sampah! Trus sekarang Mbak cari
perkara sama saya?” nada saya meninggi. “Ya udah kalau gitu, cancel semua
barang-barangnya!” saya lantas ngeloyor pergi tanpa basa-basi lagi.
Beberapa minggu
kemudian, saya kembali ke gerai yang sama. Membeli odol dan sabun, ketika itu
kasirnya beda dari sebelumnya. Begitu sampai kasir, “Maaf Pak, uang recehnya
habis. Saya kasih permen ya?” wah ini pegawai cari perkara dengan orang yang
salah. “Mas.. kemaren-kemaren pembelian saya di tolak gara-gara empat ratus
perak, sekarang saya mau kembaliannya uang! Nanti kalau saya ke sini lagi trus
kurang berapa perak aja dipermasalahkan. Mas mau cari perkara sama saya atau
gimana nih ceritanya?” damprat saya. Mendengar perkataan saya, pegawai itu kemudian
jongkok sebentar, lantas mengeluarkan beberapa uang receh dan memasukkannya ke
dalam mesin kasir. “Lha itu ada banyak gitu lho!” tegur saya bernada tinggi. “Maaf
Pak, uangnya belum sempat di keluarkan sama pegawai shift sebelumnya,” ekspresi
wajah pegawai itu memelas.
Aduh ampun deh
kelakuannya, jangan begitu lah sama pembeli. Kalau kehabisan uang receh ya
usaha dong, cari pengemis kek, cari pengamen kek, ke sebelah toko-toko atau
pedagang lain, ke bank untuk tukar uang receh kan bisa toh? Jangan hanya diam
terus pasrah tanpa usaha, masa iya uang receh bakal datang dengan sendirinya? Semoga,
ke depannya jangan sampai terulang, oke? Artikel saya ini hanya sekedar masukan
untuk membangun kualitas yang lebih baik, direspon ya syukur, ngga digubris ya
terserah...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar