Selasa, 19 Agustus 2014

Buku Perjalanan Seorang Wartawan Perang

Buku Perjalanan Seorang Wartawan Perang

Judul: Perjalanan Seorang Wartawan Perang
Penulis: Hendro Subroto
ISBN: 9794165808
Tebal: 428 Halaman
Penerbit: Pustaka Sinar Harapan

Dua atau tiga bulan yang lalu, saya iseng mengunjungi perpustakaan umum provinsi Bali di Jln.Teuku Umar, Denpasar. Di antara puluhan rak berderet, saya menemukan satu rak khusus berisi kumpulan buku tokoh-tokoh jurnalistik, salah satunya karangan Hendro Subroto(alm) berjudul “Perjalanan Seorang Wartawan Perang”. Ketika mengambil keluar dari tempatnya, saya sempat ragu, “kira-kira selesai ngga nih baca buku setebal ini?”. Maklum, selain judulnya yang seram, tebal bukunya juga bikin nyali ciut, yakni 428 halaman. Namun setelah membaca lembar demi lembar, eh kok seru ya? Berhubung buku ini tidak bisa saya bawa pulang dan membacanya di rumah -karena untuk jadi anggota WAJIB berKTP Bali-, mau tidak mau, tiap hari saya harus rela nongkrong di perpus menghabiskan sebagian besar waktu demi menuntaskan bacaan sampai halaman terakhir.


Hendro Subroto seorang wartawan TVRI dalam bukunya mengisahkan dua belas kisah perjalanan dalam memburu berita di medan perang, yaitu perang Kamboja, perang Vietnam, Kahar Muzakkar tertembak mati, surat terakhir Dr. Surono Rachmat, penumpasan pemberontakkan G30S/PKI, penumpasan gerombolan PGRS, penumpasan pemberontakkan di daerah kepala burung -Papua-, perintah operasi 009: zaman batu di abad XX, Timor Timur, perang teluk, F-28B Dragon One memecahkan kecepatan suara dan terakhir operasi Rainbow.

Perjalanan Seorang Wartawan Perang Sisi Belakang

Kepiawaian Hendro Subroto dalam menyusun kalimat patut diacungi jempol. Ia menulis kedua belas kisahnya secara terperinci. Kosakata yang digunakannya pun sederhana dan tidak membingungkan pembaca. Saya sampai terbawa suasana, bisa merasakan ketegangan di medan perang, bagaimana kejamnya para pemberontak membunuh sipil dan militer, suara riuh mobilisasi kendaraan tempur lapis baja, desing peluru yang melesat nyaris merobek kulit, suara gemuruh artileri menghujam sasaran dan lain sebagainya.

Salah satu kisah favorit saya adalah “OV-10 Menyerang Muara Dilor” di halaman 313. Pada bagian ini, nama panggilan -call sign- jet tempur saat melangsungkan serangan udara, masing-masing diberi nama kampret satu, dua dan tiga. Sedangkan pesawat pembom serbu B-26 invader diberi julukan kalong. Saya pikir kata-kata kampret dan kalong itu hanya dipakai guyonan Warkop DKI saja. Ternyata di dunia penerbangan juga memakainya toh, hehehe.


Kurang dari dua minggu, akhirnya saya berhasil menamatkan buku ini dengan perasaan puas. Mungkin ada yang belum membacanya dan tertarik dengan dunia jurnalistik? Buku ini bisa jadi bacaan menarik sekaligus menegangkan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar