Handphone-ku
berdering nyaring mengusik tidurku, Rabu (17/9) pagi jam 07.13 Wita. “Siapa sih
pagi-pagi gini telepon?” gumamku. Wajar jika aku sedikit menggerutu.
Semalam aku habis begadang sampai jam 03.00, nonton film Harry Potter The
Deathly Hallows part 1 dan 2. Aku raih ponsel di samping tempat tidur dan
melihat layarnya. Ternyata kekasih saya, Ruth. Tumben dia telepon sepagi ini? Icon
hijau saya swipe ke kanan dan dia terdengar sedang menangis. “Lho,
kenapa sayang? Pagi-pagi kok udah nangis? Ada apa?” tanyaku.
Sekuat hati dia menahan tangisnya, lantas berujar, “Mbah
Tung (Mbah Tung, ayah dari Ibunda Ruth) meninggal”
“Hah?! Apa?! Mbah Tung meninggal? Kapan cinta dapat
kabarnya?” aku yang tadinya setengah sadar, mendengar berita duka itu langsung
melek seketika. Rasanya mustahil Mbah Tung meninggal. Beberapa minggu lalu,
saya ketemu Om dan Tante nya Ruth. Mereka bilang, kondisi dan keadaan Mbah Tung
sehat.
“Barusan, dari Bunda” ucap kekasih saya sambil menangis.
“Aku mau pulang ke Surabaya hari ini juga”
“Iya.. iya. Hari ini cinta pulang ya,” aku berusaha
menenangkannya. “Trus rencananya mau naik apa?”
“Lejek (lejek, panggilan sayang dia ke
saya) ngga ikut pulang? Ngga pengen ketemu Mbah Tung?”
“Pengen sih, sayang. Tapi, memangnya kita punya uang?”
tanyaku lirih. “Naik travel satu orang aja kurang lebih Rp 200 ribu. Pulang –
Pergi Rp 400 ribu. Kalau berdua, berarti Rp 800 ribu.”
Begini ini, kalau tidak punya tabungan. Begitu ada
keperluan mendadak selalu mati kutu. Padahal sedari dulu kekasih saya terus
mengingatkan saya untuk menabung. Tapi ya ngga dilakuin juga. Rasanya tega
sekali kalau saya tidak pergi melayat. Apalagi saya pernah janji mau ketemu
Mbah Tung beberapa tahun silam tapi karena kesibukan terutama masalah biaya, keinginan
itu belum juga kesampaian.
“Iya, lejek ikut, sayang” hibur saya.
“Tapi uangnya?” tanya kekasih saya.
“Kalau naik pesawat, mahal. Bisa-bisa habis Rp 1 jutaan.
Kalau naik bis, baru jalan nanti sore. Itu pun pulangnya nanti repot. Mesti
turun di Terminal Mengwi. Travel juga baru nanti sore jalannya. Karena uang
kita juga ngga banyak, Ummm ... gimana kalau naik sepeda motor aja?”
Entah kesambet setan mana, saya kok berani-beraninya
sebut naik motor. Saya dulunya memang “anak motor” (bikers), tapi tahun 2010
saya pensiun. Berarti empat tahun lamanya saya tidak pernah melakukan perjalan
jauh. Dulu sih masih enak, karena motor yang saya pakai mumpuni, Honda Tiger.
Motor itu memang cocok untuk perjalanan jauh. Lha sekarang? Saya adanya Honda
Beat. Kapasitas mesinnya kecil, tanki bahan bakarnya sedikit, bobot motornya
pun terlalu ringan.
“Hah? Lejek serius kita mau naik motor?” tanya kekasih
saya memastikan.
Mendapat pertanyaan itu, sepersekian detik saya terdiam,
merenung. Menimbang segala kemungkinan baik – buruk serta resikonya.
Selagi berpikir, saya jadi teringat salah satu artikel
yang pernah ditulis Om Stephen Langitan. Penulis bidang otomotif itu menulis
sosok lady bikers yang berhasil menempuh perjalanan jauh dari Kalimantan
atau Sulawesi (saya lupa pastinya) ke Serang Banten menghadiri acara ulang
tahun Honda tahun 2013 kemarin. Ia juga menggunakan motor Honda Beat. “Ah,
cewek aja bisa touring jauh lintas pulau naik Beat, masa saya Sanur – Surabaya
PP aja ngga bisa sih?” kata hati nurani saya.
Tidak hanya itu, dari dulu saya juga berkeinginan
menaklukkan rute Surabaya – Bali. Tapi hingga saya pensiun main motoran, impian
tersebut belum juga terlaksana. Saya pikir, ini lah saatnya saya mewujudkan
cita-cita tertunda itu. Apalagi motor yang bakal saya pakai bukan tipe motor touring.
Akhirnya, dengan mantap saya berujar, “Iya sayang, kitapulang naik motor”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar