Rabu, 12 November 2014

Ganda Kusuma: “Kita Buruh. Bukan Seniman”

Bukan sulap, bukan sihir! Sore tadi, saya menerima sebuah pesan singkat -sms- dari provider yang menyatakan bahwa saya mendapatkan kuota gratis khusus hari ini, Selasa (11/11). Ah serius? Saya coba aktifkan internet mobile ponsel saya dan ternyata memang benar -Berhubung pesannya sudah keburu saya hapus, jadi lupa, tadi itu saya dapat jatah berapa ya? Kalau tak salah sekitar 25MB-.

Walau saya dapat kuota bebas biaya, tetap saja saya bingung mau akses apa. Facebook bosan, baca artikel berita ntar takutnya malah pusing sendiri, ah chatting via whatsapp saja kalau begitu. Saya perhatikan satu persatu daftar pertemanan dan mulai buka obrolan ke beberapa teman, salah satunya Mas Ganda Kusuma.

Mas Ganda Kusuma Dendy adalah salah seorang wartawan senior media olahraga “Bola”. Kami dulunya berkenalan kemudian jadi akrab di komunitas otomotif roda dua di Jawa Timur. Namun, karena tuntutan profesi sebagai juru tulis dimana mengharuskan dirinya liputan ke berbagai acara, jadinya kami berpisah hingga saat ini. Meski tak dapat berjumpa dengannya secara langsung, tali silahturahmi kami tetap terjalin baik melalui jejaring sosial.

Bisa dibilang obrolan saya dengan Mas Ganda pada malam itu semacam ‘berkeluh kesah’ seputar penulisan. Mau tanya kemana lagi saya, kalau larinya ngga ke Mas Ganda? Dalam benak saya urusan tulis-menulis serahkan saja ke dia. Dijamin tokcer!

Pada kesempatan itu, saya mengungkapkan kegalauan saya dalam menulis.

Saya: “Mas, bagaimana cara ngasah insting cari bahan tulisan? Yang sekiranya layak ditulis, mana yang tidak. Stuck banget beberapa hari belakangan. Perasaan apa yang ditulis gak begitu penting deh”.

Mas Ganda: “Nggak begitu penting itu gimana?”

Saya: “Biasa aja kesannya”

Mas Ganda: “Apa yang kamu bikin?”

Saya: “Soal sepele sih :D :D. Kadang dapet feel nulis, kadang ngga. Sehingga tulisannya kayak ngga bernyawa. Adakalanya darwin kudu ngopi sama ro***an dulu baru bisa nulis. Kadang kudu di tempat sepi dulu baru dapet ilham. Padahal seorang jurnalis kan harus bisa nulis dalam keadaan apapun”

Mas Ganda: “Apa itu yang sepele? Ho’oh. Kita buruh. Bukan seniman

Saya: “Hemmmm ... (meresapi maknanya). Jadi jelek atau bagus tetep nulis ya Mas?”

Mas Ganda: “Nah itu dia. Masalahnya, kita dituntut harus nulis sebaik mungkin”

Saya: “Kalau lagi nge-blank, gimana mas?”

Mas Ganda: “Blank saat nulis? Terus di-push

Saya: “Iya, suka nge-blank. Doyan ikutan acara tapi begitu mau nulis malah gak tau apa yang ditulis. Kalau dipaksa pun hasilnya jadi aneh. Gak nyambung antara kalimat ke kalimat, paragraf antar paragraf. Jadi kaya tulisan hardnews padahal maunya feature

Mas Ganda: “Feature biasanya cari segi humanisnya

Saya: “Iya mas. Iya deh mas. Paling ngga harus dipaksa nulis. Semangaaaaattt”

Begitulah kira-kira perbincangan saya dengan Mas Ganda. Pada waktu itu, Mas Ganda sedang menulis reportase. Saya ngga enak mengganggunya terlalu lama.


Menulis itu memang terlihat sepele. Siapa saja bisa menghasilkan suatu karya tulis. Akan tetapi jika kemampuan itu tidak terus dilatih hari ke hari, percayalah, kebolehan kita merangkai kata akan berkurang terkikis oleh waktu layaknya pisau tumpul yang tak pernah diasah. Tidak hanya itu, adakalanya menulis itu membosankan. Bagaimana cara agar tetap semangat? Salah satunya adalah sharing atau curhat ke penulis lain yang lebih profesional. (dap)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar