Bukan sulap, bukan sihir! Sore tadi, saya menerima
sebuah pesan singkat -sms- dari provider yang menyatakan bahwa saya mendapatkan
kuota gratis khusus hari ini, Selasa (11/11). Ah serius? Saya coba aktifkan internet mobile ponsel saya dan ternyata
memang benar -Berhubung pesannya sudah keburu saya hapus, jadi lupa, tadi itu
saya dapat jatah berapa ya? Kalau tak salah sekitar 25MB-.
Walau saya dapat kuota bebas biaya, tetap saja saya
bingung mau akses apa. Facebook bosan, baca artikel berita ntar takutnya malah pusing sendiri, ah chatting via whatsapp
saja kalau begitu. Saya perhatikan satu persatu daftar pertemanan dan mulai
buka obrolan ke beberapa teman, salah satunya Mas Ganda Kusuma.
Mas Ganda Kusuma Dendy adalah salah seorang
wartawan senior media olahraga “Bola”. Kami dulunya berkenalan kemudian jadi akrab
di komunitas otomotif roda dua di Jawa Timur. Namun, karena tuntutan profesi sebagai
juru tulis dimana mengharuskan dirinya liputan ke berbagai acara, jadinya kami
berpisah hingga saat ini. Meski tak dapat berjumpa dengannya secara langsung,
tali silahturahmi kami tetap terjalin baik melalui jejaring sosial.
Bisa dibilang obrolan saya dengan Mas Ganda pada
malam itu semacam ‘berkeluh kesah’ seputar penulisan. Mau tanya kemana lagi saya,
kalau larinya ngga ke Mas Ganda?
Dalam benak saya urusan tulis-menulis serahkan saja ke dia. Dijamin tokcer!
Pada kesempatan itu, saya mengungkapkan kegalauan saya dalam menulis.
Saya: “Mas, bagaimana cara ngasah insting cari bahan tulisan? Yang sekiranya layak ditulis, mana
yang tidak. Stuck banget beberapa
hari belakangan. Perasaan apa yang ditulis gak
begitu penting deh”.
Mas Ganda: “Nggak
begitu penting itu gimana?”
Saya: “Biasa aja kesannya”
Mas Ganda: “Apa yang kamu bikin?”
Saya: “Soal sepele sih :D :D. Kadang dapet feel nulis, kadang ngga.
Sehingga tulisannya kayak ngga
bernyawa. Adakalanya darwin kudu ngopi
sama ro***an dulu baru bisa nulis. Kadang kudu
di tempat sepi dulu baru dapet ilham.
Padahal seorang jurnalis kan harus bisa nulis dalam keadaan apapun”
Mas Ganda: “Apa itu yang sepele? Ho’oh. Kita
buruh. Bukan seniman”
Saya: “Hemmmm ... (meresapi maknanya). Jadi jelek
atau bagus tetep nulis ya Mas?”
Mas Ganda: “Nah itu dia. Masalahnya, kita dituntut
harus nulis sebaik mungkin”
Saya: “Kalau lagi nge-blank, gimana mas?”
Mas Ganda: “Blank saat nulis? Terus di-push”
Saya: “Iya, suka nge-blank. Doyan ikutan acara
tapi begitu mau nulis malah gak tau apa yang ditulis. Kalau dipaksa pun
hasilnya jadi aneh. Gak nyambung
antara kalimat ke kalimat, paragraf antar paragraf. Jadi kaya tulisan hardnews padahal maunya feature”
Mas Ganda: “Feature
biasanya cari segi humanisnya”
Saya: “Iya mas. Iya deh mas. Paling ngga harus
dipaksa nulis. Semangaaaaattt”
Begitulah kira-kira perbincangan saya dengan Mas
Ganda. Pada waktu itu, Mas Ganda sedang menulis reportase. Saya ngga enak mengganggunya terlalu lama.
Menulis itu memang terlihat sepele. Siapa saja bisa
menghasilkan suatu karya tulis. Akan tetapi jika kemampuan itu tidak terus
dilatih hari ke hari, percayalah, kebolehan kita merangkai kata akan berkurang
terkikis oleh waktu layaknya pisau tumpul yang tak pernah diasah. Tidak hanya
itu, adakalanya menulis itu membosankan. Bagaimana cara agar tetap semangat?
Salah satunya adalah sharing atau curhat ke penulis lain yang lebih
profesional. (dap)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar