Lagi asik baca salah
satu buku tentang Ignasius Jonan di Gramedia Duta Plaza Jln. Dewi
Sartika, Denpasar, Rabu (29/10), Sonni teman karib saya minta pulang
karena perutnya sudah keroncongan. Saya lihat jam tangan
dipergelangan tangan kiri memang sudah menunjukkan pk.12.15 Wita.
“Kang
...” ujarnya singkat sembari memegangi perutnya dengan wajah
memelas.
“Iya
bentar lagi, Son” balas saya cuek. Lima menit kemudian saya
kembalikan buku itu ke rak semula dan kami bergegas keluar gedung.
“Mau
makan dimana, Son? Kita makan di dekat kostan aja yuk” tanya saya
sambil berkendara pulang naik si baby
blacky.
“Gimana
kalau kita ke Warung Sunda aja? Kita makan jengkol, Kang!” seru
Sonni bersemangat.
“Makan
jengkol ya?”, gumam saya saat itu. Ide brilian sih. Apalagi sudah
lama saya tidak memakannya. Terakhir sekitar tujuh atau delapan bulan
kemarin sewaktu tinggal di Bandung beberapa bulan lamanya.
Sekedar
flashback
singkat, jujur saya ini bukan pemakan jengkol karena terkena omongan
orang yang sinis. Ekpresi mereka hampir sama begitu mendengar kata
ajaib itu. Tertampang jijik, geli dan lain sebagainya. Pada akhirnya
timbul juga rasa penasaran yang membuncah. “Itu kan kata orang dan
saya belum pernah mencobanya. Jadi, bagaimana kalau saya cari tahu
seperti apa sih rasanya?”, pikir saya.
Kebetulan
tak jauh dari rumah saya di Bandung ada seorang Ibu penjual nasi
gudeg. Menunya tidak hanya gudeg doang,
ada ikan pepes, botok, perkedel kentang, ayam goreng dan salah
satunya semur jengkol. Ya sudah, saya beli semur jengkol secukupnya.
Harganya ternyata lumayan mahal. Beli Rp. 6 ribu rupiah cuman dapat
empat biji. Kesan-kesan makan jengkol itu .... Rasanya enak kok,
suer! Dibandingkan pete, jengkol lebih berasa flavor
nya. Kalau pernah mencicipinya kan, setidaknya tau bagaimana rasanya.
Kita kembali lagi ke
Warung Sunda.
Warung ini terletak
di dekat pengkolan Jln Letda Tantular, Denpasar. Tak jauh dari Es
Teler yang terkenal itu. Tempatnya sederhana menurut saya. Baru saja
saya melangkah menghampiri pintu masuk, aroma jengkol sudah tercium
kuat.
“Beuuuhhh
... Sonnnnnn, barunya! Buset dah” celetuk saya. Melihat ekspresi
saya, Sonni hanya terkekeh.
Seperti warung makan
kebanyakan, di sana terdapat etalase yang memajang segala menu
hidangan. Ada bala-bala, tahu goreng, ayam goreng, semur hati ampela
dan lain sebagainya. Saya agak kecewa waktu itu karena 'tokoh
utamanya' kebetulan habis, masih direbus.
“Buuu
... Mana jengkol na?” tanya saya
“Duhhh
... Se'ep,
Kang. Nuju
di godog,”
ujar si Ibu penjual asal Tasikmalaya dengan logat Sunda-nya yang
kental. Yah ... penonton kecewa deh.
Sebelum saya
melangsungkan makan siang, saya sempat berkeliling sejenak sampai
masuk ke dapurnya. Si Ibu penjual berbaik hati memperbolehkan saya
ambil beberapa foto dokumentasi. Perhatian saya kemudian tertuju pada
sebuah panci berukuran besar. Tampak kepulan asap putih layaknya air
mendidih keluar dari tutup panci. Saya buka tutupnya, oalah ... ini
dia biang keroknya! Tampak puluhan jengkol tengah direbus ke dalam
air yang mendidih menunggu hingga matang.
Selagi
saya ambil foto, saya lihat Sonni sedang asik bakar pete pilihannya
di atas tungku api sedangkan si Ibu lagi asik ngulek
bikin sambal. Akhirnya saya ikut bakar pete.
Set
menu
makan siang saya adalah pete bakar, sayur nangka dan dua tahu goreng.
Sedangkan Sonni lauknya lebih banyak lagi, dia ambil pete bakar
(pastinya), tahu, bala-bala, semur hati. Tidak ketinggalan satu
sendok teh sambal hasil racikan si Ibu penjual.
Selamat makaaannnnn
...
Menjelang nasi saya
habis, si Ibu menawarkan jengkol yang sudah matang. Saya
mengiyakannya tapi sedikit saja.
Lengkap sudah menu
kami siang itu. Sonni makan dengan lahap sampai tambah nasi. “Enak
Kang, rasanya kayak di rumah (Karawang),” ujarnya sembari
mengunyah.
Lucunya,
setelah kami kembali melanjutkan perjalanan ke kostan Sonni, dia
sempat mengeluh kepalanya sakit. Wah kayaknya dia mabok jengkol ...
Hahaha. (dap)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar