Kamis, 30 Oktober 2014

SONNI MENGELUH PUSING SEUSAI MAKAN JENGKOL

Lagi asik baca salah satu buku tentang Ignasius Jonan di Gramedia Duta Plaza Jln. Dewi Sartika, Denpasar, Rabu (29/10), Sonni teman karib saya minta pulang karena perutnya sudah keroncongan. Saya lihat jam tangan dipergelangan tangan kiri memang sudah menunjukkan pk.12.15 Wita.

Kang ...” ujarnya singkat sembari memegangi perutnya dengan wajah memelas.

Iya bentar lagi, Son” balas saya cuek. Lima menit kemudian saya kembalikan buku itu ke rak semula dan kami bergegas keluar gedung.

Mau makan dimana, Son? Kita makan di dekat kostan aja yuk” tanya saya sambil berkendara pulang naik si baby blacky.

Gimana kalau kita ke Warung Sunda aja? Kita makan jengkol, Kang!” seru Sonni bersemangat.



Makan jengkol ya?”, gumam saya saat itu. Ide brilian sih. Apalagi sudah lama saya tidak memakannya. Terakhir sekitar tujuh atau delapan bulan kemarin sewaktu tinggal di Bandung beberapa bulan lamanya.

Sekedar flashback singkat, jujur saya ini bukan pemakan jengkol karena terkena omongan orang yang sinis. Ekpresi mereka hampir sama begitu mendengar kata ajaib itu. Tertampang jijik, geli dan lain sebagainya. Pada akhirnya timbul juga rasa penasaran yang membuncah. “Itu kan kata orang dan saya belum pernah mencobanya. Jadi, bagaimana kalau saya cari tahu seperti apa sih rasanya?”, pikir saya.

Kebetulan tak jauh dari rumah saya di Bandung ada seorang Ibu penjual nasi gudeg. Menunya tidak hanya gudeg doang, ada ikan pepes, botok, perkedel kentang, ayam goreng dan salah satunya semur jengkol. Ya sudah, saya beli semur jengkol secukupnya. Harganya ternyata lumayan mahal. Beli Rp. 6 ribu rupiah cuman dapat empat biji. Kesan-kesan makan jengkol itu .... Rasanya enak kok, suer! Dibandingkan pete, jengkol lebih berasa flavor nya. Kalau pernah mencicipinya kan, setidaknya tau bagaimana rasanya.

Kita kembali lagi ke Warung Sunda.


Warung ini terletak di dekat pengkolan Jln Letda Tantular, Denpasar. Tak jauh dari Es Teler yang terkenal itu. Tempatnya sederhana menurut saya. Baru saja saya melangkah menghampiri pintu masuk, aroma jengkol sudah tercium kuat.


Beuuuhhh ... Sonnnnnn, barunya! Buset dah” celetuk saya. Melihat ekspresi saya, Sonni hanya terkekeh.


Seperti warung makan kebanyakan, di sana terdapat etalase yang memajang segala menu hidangan. Ada bala-bala, tahu goreng, ayam goreng, semur hati ampela dan lain sebagainya. Saya agak kecewa waktu itu karena 'tokoh utamanya' kebetulan habis, masih direbus.



Buuu ... Mana jengkol na?” tanya saya

Duhhh ... Se'ep, Kang. Nuju di godog,” ujar si Ibu penjual asal Tasikmalaya dengan logat Sunda-nya yang kental. Yah ... penonton kecewa deh.

Sebelum saya melangsungkan makan siang, saya sempat berkeliling sejenak sampai masuk ke dapurnya. Si Ibu penjual berbaik hati memperbolehkan saya ambil beberapa foto dokumentasi. Perhatian saya kemudian tertuju pada sebuah panci berukuran besar. Tampak kepulan asap putih layaknya air mendidih keluar dari tutup panci. Saya buka tutupnya, oalah ... ini dia biang keroknya! Tampak puluhan jengkol tengah direbus ke dalam air yang mendidih menunggu hingga matang.


Selagi saya ambil foto, saya lihat Sonni sedang asik bakar pete pilihannya di atas tungku api sedangkan si Ibu lagi asik ngulek bikin sambal. Akhirnya saya ikut bakar pete.





Set menu makan siang saya adalah pete bakar, sayur nangka dan dua tahu goreng. Sedangkan Sonni lauknya lebih banyak lagi, dia ambil pete bakar (pastinya), tahu, bala-bala, semur hati. Tidak ketinggalan satu sendok teh sambal hasil racikan si Ibu penjual.




Selamat makaaannnnn ...




Menjelang nasi saya habis, si Ibu menawarkan jengkol yang sudah matang. Saya mengiyakannya tapi sedikit saja.


Lengkap sudah menu kami siang itu. Sonni makan dengan lahap sampai tambah nasi. “Enak Kang, rasanya kayak di rumah (Karawang),” ujarnya sembari mengunyah.


Lucunya, setelah kami kembali melanjutkan perjalanan ke kostan Sonni, dia sempat mengeluh kepalanya sakit. Wah kayaknya dia mabok jengkol ... Hahaha. (dap)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar