Masjid Raya Bandung |
Jumat(29/11). Selamat datang di kota Bandung! Semalam baru saja saya datang menggunakan
kereta api (baca juga artikelnya: Big Step#2 Surabaya-Bandung). Pegalnya bukan
main, sampai-sampai mau menulis artikel perjalanan saat itu juga, tapi, kepala
saya terasa sakit dan mata berkunang-kunang. Masuk angin kali ya?
Saya sekarang sedang
berada di rumah nenek, Ibunda dari Papa, yang terletak di salah satu perumahan
Margawangi. Hari pertama di kota Bandung. Kegiatan apa yang bakal saya lakukan
seharian ini?
Saya buka mata,
melemaskan otot sembari guling-gulingan di atas tempat tidur, lantas membuka
pintu kamar. Udara dingin nan sejuk langsung terasa menyentuh kulit, ah.. hari
pertama di Bandung. Dari tempat saya berdiri di lantai dua, saya bisa melihat
kubah masjid dan loteng-loteng rumah tetangga sekitar. Pemandangan yang indah
sekaligus tenang, jauh dari suara lalu lalang kendaraan karena rumah nenek
berada di dalam perumahan, paling ujung pula.
Hari ini tidak banyak
yang saya lakukan atau kerjakan, hanya dua kegiatan saja, yakni: sholat jumat
di Masjid Raya Bandung kemudian dilanjutkan berkunjung ke makam Kakek dari
Papa. Untuk mengisi waktu sampai pk.10.30wib, saya habiskan menulis artikel BigStep#2 Surabaya-Bandung (artikel itu baru selesai hari ini,01/12, lama ya?
Padahal artikel belajar menulis artikel dengan cepat itu ditarget paling lama
sepuluh menit, gapapa namanya juga latihan, hehehe).
Mendekati pk.10.30, saya
bergegas mandi, ganti pakaian yang rapih, lalu, tinggal menunggu Mang Baban (adik
paling bungsu dari keluarga Papa) datang. Saya tunggu-tunggu kok belum datang
juga, ya sudah, saya tinggal menulis artikel saja di lantai dua.
Sekitar pk.10.45an, Mang
Baban baru sampai di rumah nenek, duduk-duduk sebentar, sepuluh menit kemudian
kami berangkat menuju Masjid Raya Bandung untuk sholat jumat. Lama sekali saya
tidak sholat di sana, terakhir, sewaktu menjelang hari raya Idul Fitri tahun
berapa ya? Tahun 2009 atau 2010, mungkin. Anyway,
perjalanan di siang hari itu, menuju pusat perkotaan sungguh menarik perhatian
saya, khususnya para pengendara sepeda motor. Tau sendiri dong gimana ‘saktinya’
orang Bandung kalau bawa motor? Ada celah dikit, libas, sekiranya tu motor
masuk bisa nyalip kendaraan di depannya, sikat! Benar-benar medan perang kalau
sudah begini mah. Ambil contoh aja di perempatan traffic light Soekarno Hatta mengarah Buah Batu. Lampu
perempatannya di mana, sepeda motor ngantrinya di mana. Lampu bangjo (baca:abang ijo) nya di sini,
mereka bisa maju lima sampai tujuh meter di depannya. Intinya maen srobat srobot gitu lah seperti
pengendara Jakarta. Bahkan tak jarang saya melihat lampu merah masih menyala,
mereka sudah maen tancap gas, maen adu kepala dengan kendaraan di depannya yang
jelas-jelas masih berwarna hijau. Anehnya, ngga ada tuh kejadian LAKA
(kecelakaan lalu lintas). Ngga berlebihan dong kalau saya bilang ‘sakti’ ?
Lampu merahnya di mana, sepeda motornya di mana |
Melihat fenomena seperti
itu, saya melakukan sedikit analisa sederhana, kira-kira apa yang salah ya
sampai-sampai terjadi hal seperti itu? Menurut analisa sederhana saya, pertama,
jumlah pengguna kendaraan di atas ambang toleransi khususnya sepeda motor yang
kian hari makin bejibun. Kedua, lebar jalan yang tidak bisa lagi menampung
volume kendaraan. Ketiga, kebiasaan yang mengakar jadi BUDAYA. Lantas bagaimana
solusinya? Pastinya poin pertama dan kedua tidak mungkin diubah terkecuali
adanya pelebaran jalan. Infrastruktur jalanan di Bandung memang terbilang
sempit. Paling tidak, yang bisa diubah, jika saya jadi petinggi polisi,
mendidik dan mengubah budaya srondal-srondol pengendara sepeda motor menjadi
budaya tertib. Kota Pahlawan saja bisa, masa Bandung ngga bisa?. Lagi-lagi saya
tekankan itu secara teori, belum tentu di lapangan berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
Oke, kita lanjut lagi
ceritanya. Mang Baban mengarahkan motornya memasuki pelataran parkir Kantor
Pos. “Lho kok kemari?” gumam saya dalam hati, ternyata parkir di kantor pos
biar ngga ribet. Ya sudahlah, nurut saja.
Baru kali ini saya melihat sepeda motor dikunci gembok seperti itu |
Sebelum memasuki Masjid
Raya Bandung, saya suka sekali melihat para penjual tas plastik warna hitam (kresek) yang biasanya mangkal di pintu
masuk. Tas plastik itu dibeli para jamaah untuk membungkus alas kaki kemudian
dibawa masuk ke dalam Masjid. Entah apanya yang menarik perhatian saya, tapi,
setiap kali transaksi terjadi, ekspresi muka si penjual selalu unik. Terkadang,
memperhatikan hal-hal kecil disekitar kita itu asik sekaligus seru.
Masuk ke dalam Masjid
megah nan indah itu, saya merasa kecil, kecil sekali bagai seekor semut. Kalau
sobat tidak percaya, coba saja berkunjung ke sana.
Ceramah pada sidang
jumat itu pada intinya mengingatkan kita untuk beramal sholeh. Hidup bukanlah
untuk saling adu sikut mendapatkan kekayaan duniawi, namun sebaiknya kita
berlomba-lomba beramal sholeh karena di akhirat nanti yang dinilai bukanlah
seberapa kaya harta materi orang itu, bukan juga seberapa tinggi jabatan orang
itu, melainkan amal sholehnya yang dilihat. Orang-orang gila kekayaan bisa diumpamakan
seperti binatang di padang pasir. Demi mengejar kekayaan materi, mereka lupa
dengan saudara, keluarga, kedua orang tua, dsb. Jangan sampai kita dibutakan
oleh materi.
Ini ruangan apa ya? |
Seusai sholat, saya dan
Mang Baban menuju pintu keluar. Nah, kebiasaan jelek nih, setelah sholat tas
plastiknya pasti langsung dibuang begitu saja sampai berserakan begitu.
Gapura Makam |
Mang Baban dan Makam Kakek |
Acara dilanjutkan ke
makam kakek yang berada tepat di samping kompleks Masjid Raya Bandung. “Kakek..
ini Darwin. Maafin darwin ya kek karena lama ngga pernah ke sini lagi.
Kemarin-kemarin, Darwin kerja di Denpasar, Kek. Sekarang insyaallah kerja di
Jawa Barat biar bisa sering nengokin kakek di sini. Mudah-mudahan darwin sukses
ya, Kek. Amin.. Amin.. Amin,” ujar saya dalam hati sembari mendoakan kakek di
sana. Selesai dari makam, saya dan Mang Baban langsung balik ke rumah nenek dan
lagi-lagi ‘membelah’ hiruk pikuk suasana kota Bandung yang semrawut.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar