Senin, 02 Desember 2013

BANDUNG DAY#1


Masjid Raya Bandung
Jumat(29/11). Selamat datang di kota Bandung! Semalam baru saja saya datang menggunakan kereta api (baca juga artikelnya: Big Step#2 Surabaya-Bandung). Pegalnya bukan main, sampai-sampai mau menulis artikel perjalanan saat itu juga, tapi, kepala saya terasa sakit dan mata berkunang-kunang. Masuk angin kali ya?

Saya sekarang sedang berada di rumah nenek, Ibunda dari Papa, yang terletak di salah satu perumahan Margawangi. Hari pertama di kota Bandung. Kegiatan apa yang bakal saya lakukan seharian ini?


Saya buka mata, melemaskan otot sembari guling-gulingan di atas tempat tidur, lantas membuka pintu kamar. Udara dingin nan sejuk langsung terasa menyentuh kulit, ah.. hari pertama di Bandung. Dari tempat saya berdiri di lantai dua, saya bisa melihat kubah masjid dan loteng-loteng rumah tetangga sekitar. Pemandangan yang indah sekaligus tenang, jauh dari suara lalu lalang kendaraan karena rumah nenek berada di dalam perumahan, paling ujung pula.
 
Makanan pertama yang saya santap di rumah nenek
Hari ini tidak banyak yang saya lakukan atau kerjakan, hanya dua kegiatan saja, yakni: sholat jumat di Masjid Raya Bandung kemudian dilanjutkan berkunjung ke makam Kakek dari Papa. Untuk mengisi waktu sampai pk.10.30wib, saya habiskan menulis artikel BigStep#2 Surabaya-Bandung (artikel itu baru selesai hari ini,01/12, lama ya? Padahal artikel belajar menulis artikel dengan cepat itu ditarget paling lama sepuluh menit, gapapa namanya juga latihan, hehehe).

Mendekati pk.10.30, saya bergegas mandi, ganti pakaian yang rapih, lalu, tinggal menunggu Mang Baban (adik paling bungsu dari keluarga Papa) datang. Saya tunggu-tunggu kok belum datang juga, ya sudah, saya tinggal menulis artikel saja di lantai dua.

Sekitar pk.10.45an, Mang Baban baru sampai di rumah nenek, duduk-duduk sebentar, sepuluh menit kemudian kami berangkat menuju Masjid Raya Bandung untuk sholat jumat. Lama sekali saya tidak sholat di sana, terakhir, sewaktu menjelang hari raya Idul Fitri tahun berapa ya? Tahun 2009 atau 2010, mungkin. Anyway, perjalanan di siang hari itu, menuju pusat perkotaan sungguh menarik perhatian saya, khususnya para pengendara sepeda motor. Tau sendiri dong gimana ‘saktinya’ orang Bandung kalau bawa motor? Ada celah dikit, libas, sekiranya tu motor masuk bisa nyalip kendaraan di depannya, sikat! Benar-benar medan perang kalau sudah begini mah. Ambil contoh aja di perempatan traffic light Soekarno Hatta mengarah Buah Batu. Lampu perempatannya di mana, sepeda motor ngantrinya di mana. Lampu bangjo (baca:abang ijo) nya di sini, mereka bisa maju lima sampai tujuh meter di depannya. Intinya maen srobat srobot gitu lah seperti pengendara Jakarta. Bahkan tak jarang saya melihat lampu merah masih menyala, mereka sudah maen tancap gas, maen adu kepala dengan kendaraan di depannya yang jelas-jelas masih berwarna hijau. Anehnya, ngga ada tuh kejadian LAKA (kecelakaan lalu lintas). Ngga berlebihan dong kalau saya bilang ‘sakti’ ?

Lampu merahnya di mana, sepeda motornya di mana
 
Spanduk ini hanyalah menjadi PAJANGAN saja
Melihat fenomena seperti itu, saya melakukan sedikit analisa sederhana, kira-kira apa yang salah ya sampai-sampai terjadi hal seperti itu? Menurut analisa sederhana saya, pertama, jumlah pengguna kendaraan di atas ambang toleransi khususnya sepeda motor yang kian hari makin bejibun. Kedua, lebar jalan yang tidak bisa lagi menampung volume kendaraan. Ketiga, kebiasaan yang mengakar jadi BUDAYA. Lantas bagaimana solusinya? Pastinya poin pertama dan kedua tidak mungkin diubah terkecuali adanya pelebaran jalan. Infrastruktur jalanan di Bandung memang terbilang sempit. Paling tidak, yang bisa diubah, jika saya jadi petinggi polisi, mendidik dan mengubah budaya srondal-srondol pengendara sepeda motor menjadi budaya tertib. Kota Pahlawan saja bisa, masa Bandung ngga bisa?. Lagi-lagi saya tekankan itu secara teori, belum tentu di lapangan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Oke, kita lanjut lagi ceritanya. Mang Baban mengarahkan motornya memasuki pelataran parkir Kantor Pos. “Lho kok kemari?” gumam saya dalam hati, ternyata parkir di kantor pos biar ngga ribet. Ya sudahlah, nurut saja.

Baru kali ini saya melihat sepeda motor dikunci gembok seperti itu
Sebelum memasuki Masjid Raya Bandung, saya suka sekali melihat para penjual tas plastik warna hitam (kresek) yang biasanya mangkal di pintu masuk. Tas plastik itu dibeli para jamaah untuk membungkus alas kaki kemudian dibawa masuk ke dalam Masjid. Entah apanya yang menarik perhatian saya, tapi, setiap kali transaksi terjadi, ekspresi muka si penjual selalu unik. Terkadang, memperhatikan hal-hal kecil disekitar kita itu asik sekaligus seru.

Masuk ke dalam Masjid megah nan indah itu, saya merasa kecil, kecil sekali bagai seekor semut. Kalau sobat tidak percaya, coba saja berkunjung ke sana.

Ceramah pada sidang jumat itu pada intinya mengingatkan kita untuk beramal sholeh. Hidup bukanlah untuk saling adu sikut mendapatkan kekayaan duniawi, namun sebaiknya kita berlomba-lomba beramal sholeh karena di akhirat nanti yang dinilai bukanlah seberapa kaya harta materi orang itu, bukan juga seberapa tinggi jabatan orang itu, melainkan amal sholehnya yang dilihat. Orang-orang gila kekayaan bisa diumpamakan seperti binatang di padang pasir. Demi mengejar kekayaan materi, mereka lupa dengan saudara, keluarga, kedua orang tua, dsb. Jangan sampai kita dibutakan oleh materi.

Ini ruangan apa ya?

Seusai sholat, saya dan Mang Baban menuju pintu keluar. Nah, kebiasaan jelek nih, setelah sholat tas plastiknya pasti langsung dibuang begitu saja sampai berserakan begitu.
 
Sehabis sholat sih habis sholat tapi sampahnya jangan seperti itu dong
Gapura Makam
Mang Baban dan Makam Kakek
Acara dilanjutkan ke makam kakek yang berada tepat di samping kompleks Masjid Raya Bandung. “Kakek.. ini Darwin. Maafin darwin ya kek karena lama ngga pernah ke sini lagi. Kemarin-kemarin, Darwin kerja di Denpasar, Kek. Sekarang insyaallah kerja di Jawa Barat biar bisa sering nengokin kakek di sini. Mudah-mudahan darwin sukses ya, Kek. Amin.. Amin.. Amin,” ujar saya dalam hati sembari mendoakan kakek di sana. Selesai dari makam, saya dan Mang Baban langsung balik ke rumah nenek dan lagi-lagi ‘membelah’ hiruk pikuk suasana kota Bandung yang semrawut.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar